Program IT dibimbing Pengajar dari IDN |
Niat Secara Bahasa terbagi 2 makna :
✅ Attamyiz (Pembeda)
Pada Makna Attamyiz terbagi lagi menjadi dua macam:
☑️ Pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya antara shalat fardhu dengan shalat sunnah, shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, puasa wajib dengan puasa sunnah, dst.
☑️ Pembeda antara kebiasaan dengan ibadah. Misalnya mandi karena hendak mendinginkan badan dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan untuk kesembuhan dengan menahan diri karena puasa.
✅ Al Qasd artinya Bermaksud yaitu meniatkan amal yang diperbuat itu “karena apa?” atau “karena siapa?”)
Bab tentang niat itu sangat penting untuk dikaji. Menurut Imam Ahmad, ilmu itu berdiri di atas tiga kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:
✅ Pertama
Hadits “Innamal a’malu binniyat”
Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat
✅ Kedua.
Hadits “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd”
Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak.
✅Ketiga.
Hadits “Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin”
Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.
Seseorang wajib berhati-hati terhadap pembatal amalan seperti riya’, sum’ah, beramal karena tujuan duniawi, dan ’ujub (bangga diri)
Apabila seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan NIAT MURNI untuk mendapatkan dunia misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid atau guru yang niatnya hanya untuk mendapatkan gaji saja, maka ibadah dengan niat yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam Syirk Qasd (syirk dalam hal tujuan).
Orang ini juga terancam dengan ayat berikut:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Huud: 15-16)
Di sisi lain, Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’.
Berpose bersama Kakak kakak Peserta IDN Mengajar |
Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya”.
Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amal karena manusia adalah riya’ pula.”
Imam Nawawiy berkata tentang maksud perkataan Fudhail bin ‘Iyadh tersebut,
“Barang siapa yang hendak mengerjakan amal saleh lalu ia meninggalkannya karena takut riya’ kepada manusia maka sesungguhnya ia telah berbuat riya’ karena meninggalkanya itu. Hal itu, karena meninggalkan suatu perbuatan karena manusia dan segala sesuatu (yang dilkakukan) karena manusia adalah riya’, sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (suatu amalan) karena manusia adalah riya’ juga.”
Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah namun ada tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi balasan keikhlasan.
Misalnya :
✅ Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping berniat ibadah kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan.
✅ Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
✅ Menunaikan ibadah haji disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
Bagaimanakah apabila yang mencampuri niat yang benar itu adalah urusan dunia?
Misalnya seseorang naik haji sambil berniat dalam hajjinya itu untuk melakukan perniagaan yang halal, atau seseorang berperang niatnya itu disamping niat berjihad di jalan Allah adalah agar mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang).
Pertanyaannya adalah apakah amalnya ini (hajji dan perangnya) sah?
Jawab, “Para ahli ilmu sepakat tentang sahnya amal ini, mereka berdalil dengan ayat 198 surat Al Baqarah berikut:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّين
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Abu Umaamah At Taimiy bertanya kepada Ibnu Umar,
إِنَّا نُكْرِي فَهَلْ لَنَا مِنْ حَجٍّ قَالَ أَلَيْسَ تَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ وَتَأْتُونَ الْمُعَرَّفَ وَتَرْمُونَ الْجِمَارَ وَتَحْلِقُونَ رُءُوسَكُمْ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الَّذِي سَأَلْتَنِي فَلَمْ يُجِبْهُ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ) فَدَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ حُجَّاجٌ (احمد)
“Sesungguhnya kami ini orang yang suka melakukan sewa-menyewa, apakah kami akan mendapatkan (pahala) hajji?” Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kamu thawaf di baitullah, mendatangi Mu’arraf, kamu melempar jamrah dan mencukur kepala?” Ia menjawab, “Ya”, Ibnu Umar pun berkata, “Pernah datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang yang kamu tanyakan, Beliau pun tidak menjawab sampai Jibiril turun dengan membawa ayat ini “Laisa ‘alakum junaahun…dst.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil orang itu dan berkata,”Kalian adalah hujjaj (orang-orang yang berhajji).”
(HR. Pentahqiq Musnad Ahmad berkata, “Isnadnya shahih.”)
Tausiyah Senin Pagi |
Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa.
Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa ada seorang yang berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ فَأَعْظَمَ ذَلِكَ النَّاسُ وَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَعَلَّكَ لَمْ تُفَهِّمْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ لَا أَجْرَ لَهُ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ لَهُ لَا أَجْرَ لَهُ*
(ابوداود وحسنه الألباني في صحيح سنن ابي داود رقم 2196)
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, orang-orang pun merasakan keberatan, dan berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin saja, kamu belum memberikan penjelasan yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, sampai-sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga kalinya, namun Beliau tetap bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.”
(HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab: “Caranya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan apabila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
Adapun masalah Qalbun niyyah (mengubah niat dari ibadah yang satu ke ibadah yang lain)
Kapankah seseorang boleh qalbun niyyah?
Jawab: Seseorang boleh qalbun niyyah karena ada maslahat syar’i. Misalnya;
Saat mendirikan shalat Seseorang bertakbir dalam shalat fardhu dengan perkiraan bahwa waktunya sudah masuk, lalu ternyata belum masuk, maka ia boleh mengubah niatnya dari shalat fardhu ke shalat sunnah.
Seseorang bertakbir untuk shalat sendiri, kemudian ada shalat jamaah yang ditegakkan, maka menurut pendapat yang shahih dari pendapat ahli ilmu adalah ia mengubah niat shalat fardhu sendiri menjadi shalat sunnah, lalu ia menyempurnakan shalat sunnahnya itu, kemudian ikut shalat berjamaah.
Dalam haji Seseorang berihram (berniat) haji ifrad (haji saja) atau qiran (menggabung antara hajji dengan umrah) namun tidak membawa hadyu (binatang sembelihan), iapun kemudian mengubah niatnya ke hajji tamattu’ maka ini boleh bahkan mustahab (dianjurkan), karena tamattu’ (mendahulukan umrah baru haji) lebih utama daripada hajji qiran.
Adapun dalam Hukum niat menjadi imam
Pendapat yang rajih dan shahih dari pendapat Ahli Ilmu adalah bahwa niat menjadi imam itu bukanlah syarat sah shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah.
Misalnya seorang shalat zhuhur sendiri lalu datang orang lain ikut shalat bersamanya sebagai ma’mum maka shalatnya insya Allah adalah sah.
Contoh yang lain adalah seorang shalat sunnah lalu ada orang lain yang ikut shalat bersamanya, maka boleh bagi orang lain untuk berma’mum kepadanya dan ikut shalat bersamanya meskipun ia berniat di awal shalatnya sendiri.
Hukum niat menjadi makmum
Lalu apa hukum berniat menjadi ma’mum?
Jawab: Imam madzhab yang empat sepakat bahwa bagi seseorang kalau hendak berma’mum harus berniat sebelum memasuki shalat.
Mengapa ma’mum harus berniat berma’mum sebelum memasuki shalat bersama imam?
Jawabnya, “Karena berniat untuk mengikuti adalah perbuatan lebih dari niat shalat sendiri, perbuatan lebih itu adalah mutaaba’ah (mengikuti imam), juga karena ma’mum tidak melakukan perbuatan shalat kecuali setelah dipimpin imam, oleh karenanya butuh berniat”.
Namun pada permasalahan bermakmum pada orang yang shalat sunnah Apa hukum orang yang melakukan shalat fardhu berma’mum kepada orang yang melakukan shalat sunnah?
Jawab: Hukumnya adalah boleh, sebagaimana Mu’adz bin Jabal setelah shalat Isya di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia shalat lagi mengimami kaumnya (sebagaimana dalam riwayat Muslim), shalat yang kedua yang dilakukan Mu’adz adalah sunnah sedangkan kaumnya melakukan shalat fardhu di belakangnya.
Bermakmum pada orang yang shalat fardhu
Apabila seorang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat fardhu, maka makmum yang shalat fardhu di belakangnya ada tiga keadaan :
✅ Pertama,
Zhahir dan bathin keduanya (imam dan makmum) sama.
Contohnya : Imam shalat ‘Ashar dan makmum juga shalat ‘Ashar maka keduanya; zhahir dan bathinnya sama.
✅ Kedua,
Zhahir keduanya sama (seperti gerakannya) sedangkan batin keduanya berbeda.
Contohnya imam shalat ‘Ashar sedangkan makmum shalat Zhuhur, ini maksud zhahirnya sama namun batin (niatnya) berbeda.
✅ Ketiga,
Zhahir dan batinnya berbeda.
Contohnya imam shalat ‘Isya sedangkan makmum shalat Maghrib, inilah yang dimaksud berbeda zhahir dan bathin.
Zhahir yang dimaksud adalah haiahh/sifat (praktik atau gerakan shalat), sedangkan batin maksudnya adalah niatnya.
Contoh nomor 1 kita sudah ketahui bersama bahwa hukumnya sudah jelas, lalu bagaimana dengan no. 2 dan 3?
Untuk Nomor 2 dan 3 ini ada ikhtilaf di kalangan para ulama, yang shahih dan rajih di antara pendapat itu adalah untuk no. 2 itu boleh dilakukan meskipun imam dan makmum berbeda batinnya (niatnya) berdasarkan hadits yang lalu.
Adapun no. 3 tidak boleh dilakukan karena imam itu dijadikan untuk diikuti.
Namun Syaikh Ibnu Baz dalam masalah ini berpendapat ketika ia ditanya sebagai berikut:
“Terkadang ketika menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya karena hujan, ada sebagian jamaah yang hadir (terlambat). Ketika itu imam melakukan shalat ‘Isya, orang-orang itu (yang datang terlambat) langsung masuk ke dalam shalat bersama imam dengan mengira bahwa ia (imam) shalat Maghrib, lalu apa sikap yang harus mereka lakukan?”
Ia menjawab, “Mereka harus duduk setelah rakaat ketiga (tidak bangkit bersama imam), membaca tasyahud dan doa lalu melakukan salam bersama imam.
Kemudian mereka melakukan shalat ‘Isya setelahnya untuk mencapai keutamaan jamaah dan mengerjakan shalat secara tertib dimana hal itu wajib…dst.”.
Sedangkan mengenai permasalahan Shalat sunnah dengan niat lebih dari satu
Shalat sunnah dengan niat lebih dari satu hukumnya boleh.
Misalnya seseorang shalat sunnah dengan niat shalat sunnah wudhu’, shalat tahiyyatul masjid, dan shalat sunnah rawatib Zhuhur, maka tidak mengapa, namun lebih utama dipisah.
Adapun untuk shalat fardhu, maka tidak bisa sambil berniat shalat sunnah.
Untuk Hukum seorang Mukim bermakmum di belakang musafir
Shalat orang yang mukim di belakang musafir, apa hukumnya?
Jawab: “Para fuqaha sepakat bolehnya orang yang mukim berma’mum kepada yang musafir sebagaimana dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila datang ke Makkah, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan orang-orang sebanyak 2 rak’at (diqashar), setelah selesai Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَهْلَ مَكَّةَ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ * (مالك)
“Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat kalian karena kami orang yang sedang safar.” (HR. Malik)
Catatan: Seorang musafir jika sebagai imam mengimami orang-orang yang mukim hendaknya setelah shalat memberitahukan kepada ma’mumnya agar menyempurnakan shalatnya.
Musafir bermakmum di belakang mukim
Apa hukum shalat orang musafir di belakang orang yang mukim?
“Para fuqaha sepakat bolehnya musafir bermakmum kepada yang mukim, caranya si musafir ikut shalat 4 rakaat dengan yang mukim, karena makmum diperintahkan mengikuti imam.”
Hal ini sebagaimana dalam riwayat Ahmad bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya oleh Musa bin Salamah,
إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ(احمد)
“Kami jika bersama kamu melakukan shalat empat rakaat dan apabila kami pulang ke rumah, kami melakukan dua rakaat?” Ibnu Abbas berkata, “Itu adalah Sunnah Abil Qaasim (sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
(Diriwayatkan oleh Ahmad)Diringkas dari Artikel Rumaysho
—
Maraji’:
Maktabah Syamilah versi 3.45
Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li abhatsil Qur’an was Sunnah)
Syarhul Arba’in An Nawawiyyah (Sulaiman bin Muhammad Al Luhaimid)
Mabahits Fin Niyyah (Shalih bin Muhammad Al Ulyawi)
____
Pesantren Inklusi Griya Sunnah Cileungsi
wa.me/6281317002011
0 Komentar