Tahukah Anthum ..
Dahulu, Ibadah di gereja sangatlah khusyu. Ada ceramah dan Berdoa secara hening dan khidmat.
Lalu diusulkan supaya Ada pujian kepada Yesus dengan cara bernyanyi. kemudian menyanyilah mereka.
Tidak berhenti hingga disitu, Nyanyian itupun kini ditambahi alat musik berupa piano. Jadilah Tempat ibadah seperti konser.
Kondisi masjid pun kini mirip sama. Karena Iblis tidak akan membelokan Syariat secara Sporadis, tapi pelan-pelan dari generasi ke generasi.
Awal mulanya di awali dengan Puji-pujian yang tentunya akan mengganggu kekhusyuan orang yang sedang beribadah. Shalat, Dzikir dan tilawah. Serasa kurang syahdu, maka di tambahilah dengan alat musik ketimpring dll. Jadilah masjid sebuah tempat yang Ramai dengan bunyi-bunyian.
Setelah itu, di saat PHBI dipanggilah grup Marawis dengan lagu-lagu berbahasa arab tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalam lagu itu.
Mulai dengan lagu yang bernafas Pujian terhadap Nabi. Misalnya : "Anna Habbaitak" dll.
Lalu beralih ke Lagu yang sedang ngetrend di Timur tengah, "Maghadir" misalnya.
Tahukah anda, Lagu Maghadir tenar di mesir, yordan dan suriah sebagai lagu diskotik. sementara di indonesia dinyanyikan di dalam masjid.
Lama-lama, hadirin bosan dengan lagu-lagu berlirik arab. Tampilah Penyumbang lagu membawakan lagu si raja dangdut.
"Mirasantika..." Sekarang tak - tak - tak - tak kutamau - kutamau tak tak tak tak kutamau kutamau tak! kutamautak!
Setelah itu maju lagi penyumbang dengan membawakan Lagu Sapin Melayu "Laksmana Raja dilaut" yang notabene tangga nadanya masih di Minor MIRIP GAMBUSAN.
Sempurna sudah, masjid digunakan untuk dangdutan. karena se islami islaminya lirik Bang Haji tetap warna musiknya adalah dangdut.
Semuanya berawal dari Puji-pujian. Makanya Zaman Nabi tidak ada puji-pujian di masjid, Nabi tahu jika peluang itu dibuka maka akan berefek kepada pembelokan syariat secara perlahan.
Adapun orang yang membolehkan puji-pujian di masjid atau mushala, mereka menjadikan hadits di bawah ini sebagai hujjah.
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ
Dari Sa’id bin al-Musayyib, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid.
Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku pernah melantunkan syair di masjid (padahal) saat itu ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad Saw).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya.
‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW: “Jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).”
(HR Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain).
Status Hadits
Dalam kitabal-Silsilah al-Shahihah, II/642, al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut termuat dalam Shahih Muslim, VII/162-163, Sunan Abu Dawud, II/316, al-Thayalisi, 304, Ahmad, II/269,V/222, dari al-Zuhri, dari Sa’id, dan dari Abu Hurairah.
Dalam riwayat Ahmad ada tambahan kalimat yang menjelaskan:
فانصرف عمر و هو يعرف أنه يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم
Kemudian Umar berpaling pergi, dan Ia mengetahui yang dimaksud dengan orang (yang lebih baik dari dirinya) adalah Rasulullah SAW. Kata al-Albani, sanad hadits tersebut shahih.
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan bahwa suatu hari Umar bin Khattab bertemu Hassan bin Sabit (sang penyair) yang sedang melantunkan syairnya di dalam masjid. Saat itu Umar menegurnya, namun Hassan tidak terima lalu mengatakan kepada Umar bahwa dirinya pernah melantunkan syair di masjid dan Rasulullah SAW membiarkannya. Untuk meyakinkan Umar ia minta kesaksian Abu Hurairah untuk membenarkannya. Setelah itu Umar berpaling dan pergi.
Hadits ini, oleh sebagian orang dijadikan dasar bolehnya puji-pujian sebelum shalat berjamaah. Yang dimaksud dengan puji-pujian sebelum shalat berjamaah adalah membaca syair-syair dengan suara keras yang berisi puji-pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi SAW dan kata-kata nasihat dari orang bijak, seperti Eling-eling umat, Tombo Ati dan lain sebagainya.
Akan tetapi jika kita amati lebih dalam, Hadits di atas tidak memimilki korelasi yang Apple to apple sebagai dalil dibolehkannya puji-pujian.
Pertama, Hasan Bit Tsabit adalah ahli syair, Syair yang dibacakan beliau tidak memiliki nada seperti Puji-pujian. Syair yang dibacakan sifatnya pribadi tidak seperti puji-pujian yang dilantunkan pake TOA Agar didengar orang banyak. Sehingga bisa mengganggu kekhusyuan para jamaah yang sedang Shalat Sunnah, berdoa, dzikir atau membaca Quran.
Kedua, Dalam hadits di atas tidak dijelaskan bahwa Syair yang dibacakan Hasan bin Tsabit dibaca diantara adzan dan iqamah. Hadits di atas menjelaskan bahwa syair nya hasan dibaca pada waktu yang umum. Sehingga tidak relevan dijadikan dalil bolehnya puji-pujian diantara adzan dan iqamah.
Ketiga, Berkenaan dengan aktifitas di masjid secara umum termasuk di dalamnya waktu diantara adzan dan iqamah maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk yang gamblang, sebagaimana sabda beliau :
"Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al-Quran)atau dalam shalatnya.
(HR Abu Daud no 1135, versi Baitul Afkar ad Dauliah no 1332)
___
#KembaliKeOri
Ustadz Khudori Sirojuddin
Mudir Pesantren Inklusi Griya Sunnah Cileungsi Bogor
0 Komentar